Rabu, 04 Desember 2013

HEMOROID




LAPORAN PENDAHULUAN (LP)


1.                  Definisi
Hemoroid adalah bagian vena yang berdilatasi dalam kanal anal. Hemoroid sangat umum terjadi. Pada usia 50an, 50% individu mengalami berbagai tipe hemoroid berdasarkan luasnya vena yang terkena. Kehamilan diketahui mengawali atau memperberat adanya hemoroid. (Smeltzer, 2001).
Hemoroid adalah pelebaran vena di dalam pleksus hemoroidales yang tidak merupakan keadaan patologik ( Sjamsuhidayat & Jong, 2004 ).
Hemoroid adalah pelebaran varises satu segmen atau lebih vena-vena hemoroidales (Bacon). Patologi keadaan ini dapat bermacam-macam, yaitu trombosis, ruptur, radang, ulserasi, dan nekrosis (Mansjoer, 2000).
Untuk itu dapat disimpulkan hemoroid adalah pelebaran vena varicosa satu segmen atau lebih vena-vena hemoroidales yang berdilatasi dalam anus dan rectum.
            2.                  Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) dan Mansjoer (2008), etiologi dari hemoroid adalah :
           a.       Faktor Predisposisi :
1)      Herediter atau keturunan
Dalam hal ini yang menurun dalah kelemahan dinding pembuluh darah, dan bukan hemoroidnya.
2)      Anatomi
Vena di daerah masentrorium tidak mempunyai katup. Sehingga darah mudah kembali menyebabkan bertambahnya tekanan di pleksus hemoroidalis.
3)      Makanan misalnya, kurang makan-makanan berserat
4)      Pekerjaan seperti mengangkat beban terlalu berat
5)      Psikis
          b.      Faktor Presipitasi :
1)      Faktor mekanis (kelainan sirkulasi parsial dan peningkatan tekanan intraabdominal) misalnya, mengedan pada waktu defekasi.
2)      Fisiologis
3)      Radang
4)      Konstipasi menahun
5)      Kehamilan
6)      Usia tua
7)      Diare kronik
8)      Pembesaran prostat
9)      Fibroid uteri
10)  Penyakit hati kronis yang disertai hipertensi portal

            3.                  Klasifikasi
Hemoroid dapat diklasifikasikan atas hemoroid eksterna dan interna.
a.    Hemoroid Interna
Hemoroid interna adalah pleksus vena hemoroidalis superior diatas garis mukokutan dan ditutupi oleh mukosa (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). Sedangkan menurut Sudoyo (2006), hemoroid interna dibagi berdasarkan gambaran klinis yaitu derajat 1-4 :
1)     Derajat 1: Bila terjadi pembesaran hemoroid yang tidak prolaps ke luar kanal anus. Hanya dapat dilihat dengan anorektoskop.
2)     Derajat 2: Pembesaran hemoroid yang prolaps dan menghilang atau masuk sendiri ke dalam anus secara spontan.
3)     Derajat 3: Pembesaran hemoroid yang prolaps dapat masuk lagi ke dalam anus dengan bantuan dorongan jari.
4)     Derajat 4: Prolaps hemoroid yang permanen. Rentan dan cenderung untuk mengalami trombosis dan infark.
Lebih jelas gambar 1 mengenai hemoroid interna derajat 1-4.


Gambar 1. Derajat Hemoroid Interna
Sumber : Sjamsuhidajat dan Jong (2005)
b.     Hemoroid Eksterna
  Hemoroid eksterna biasanya perluasan hemoroid interna. Tapi hemoroid eksterna dapat diklasifikasikan menjadi 2 :
1)        Akut
Bentuk akut berupa pembengkakan bulat kebiruaan pada pinggir anus dan sebenarnya adalah hematom.
            Tanda dan gejala yang sering timbul adalah :
a)        Sering rasa sakit dan nyeri
b)        Rasa gatal pada daerah hemoroid
Kedua tanda dan gejala tersebut disebabkan karena ujung-ujung saraf pada kulit merupakan reseptor sakit
2)        Kronik
Hemoroid eksterna kronik terdiri atas satu lipatan atau lebih dari kulit anus yang berupa jaringan penyambung dan sedikit pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
            4.                  Patofisiologi
Menurut Price dan Wilson (2006), serta Sudoyo (2006), patofisiologi hemoroid adalah akibat dari kongesti vena yang disebabkan oleh gangguan venous rektum dan vena hemoroidalis. Hemoroid timbul karena dilatasi, pembengkakan atau inflamasi vena hemoroidalis yang disebabkan oleh faktor-faktor risiko/ pencetus dan gangguan aliran balik dari vena hemoroidalis.
Faktor risiko hemoroid antara lain faktor mengedan pada buang air besar yang sulit, pola buang air besar yang salah (lebih banyak memakai jamban duduk, terlalu lama duduk di jamban sambil membaca, merokok), peningkatan tekanan intra abdomen karena tumor (tumor usus, tumor abdomen), kehamilan (disebabkan tekanan janin pada abdomen dan perubahan hormonal), usia tua, konstipasi kronik,diare kronik atau diare akut yang berlebihan, hubungan seks peranal, kurang minum air, kurang makan makanan berserat (sayur dan buah), kurang olahraga/imobilisasi.
Telah diajukan beberapa faktor etiologi yaitu konstipasi, diare, sering mengejan, kongesti pelvis pada kehamilan, pembesaran prostat, fibroid uteri, dan tumor rectum. Penyakit hati kronis yang disertai hipertensi portal sering mengakibatkan hemoroid, karena vena hemoroidalis superior mengalirkan darah kedalam sistem portal. Selain itu, sistem portal tidak memiliki katup, sehingga mudah terjadi aliran balik.
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena mesenterika superior, vena mesentrika inferior, dan vena hemoroidalis superior (bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media, dan inferior, sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam vena dan mengakibatkan hemoroid (Price dan Wilson, 2006). 


Gambar 2. Patofisiologi Hemoroid
Sumber : www.faqs.org
           5.                  Manifestasi Klinis
Hemoroid menyebabkan rasa gatal dan nyeri, dan sering menyebabkan perdarahan berwarna merah terang pada saat defekasi. Hemoroid eksternal dihubungkan dengan nyeri hebat akibat inflamasi dan edema yang disebabkan oleh trombosis. Trombosis adalah pembekuan darah dalam hemoroid. Ini dapat menimbulkan iskemia pada area tersebut dan nekrosis. Hemoroid internal tidak selalu menimbulkan nyeri sampai hemoroid ini membesar dan menimbulkan perdarahan atau prolaps (Smeltzer dan Bare, 2002).
Pasien sering mengeluh menderita hemoroid atau “wasir” tanpa ada hubungannya dengan gejala rectum atau anus yang khusus. Nyeri yang hebat jarang sekali ada hubungannya dengan hemoroid intern dan hanya timbul pada hemoroid ekstern yang mengalami thrombosis. Perdarahan umumnya merupakan tanda pertama hemoroid intern akibat trauma oleh feses yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak tercampur dengan feses, dapat hanya berupa garis pada feses atau kertas pembersih sampai pada perdarahan yang terlihat menetes atau mewarnai air toilet menjadi merah. Walaupun berasal dari vena, darah yang keluar berwarna merah segar karena kaya zat asam. Perdarahan luas dan intensif di pleksus hemoroidalis menyebabkan darah di vena tetap merupakan “darah arteri”. Kadang perdarahan hemoroid yang berulang dapat berakibat timbulnya anemia berat. Hemoroid yang membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol keluar menyebabkan prolaps. Pada tahap awalnya penonjolan ini hanya terjadi pada waktu defekasi dan disusul oleh reduksi spontan sesudah selesai defekasi (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005) .
Pasien harus memasukkan sendiri setelah defekasi. Pada tahap lanjut, akhirnya sampai pada suatu keadaan dimana tidak dapat dimasukkan. Kotoran di pakaian dalam menjadi tanda hemoroid yang mengalami prolaps permanen. Kulit di daerah perianal akan mengalami iritasi. Nyeri akan terjadi bila timbul trombosis luas dengan edema dan peradangan. Anamnesis harus dikaitkan dengan faktor obstipasi, defekasi yang keras, yang membutuhkan tekanan intra abdominal tinggi (mengejan), juga sering pasien harus duduk berjam-jam di WC, dan dapat disertai rasa nyeri yang merupakan gejala radang (Mansjoer, 2008).
Hemoroid eksterna dapat dilihat dengan inspeksi, apalagi bila telah terjadi trombosis. Bila hemoroid interna mengalami prolaps, maka tonjolan yang ditutupi epitel penghasil musin akan dapat dilihat pada satu atau beberapa kuadran. Selanjutnya secara sistematik dilakukan pemeriksaan dalam rectal secara digital dan dengan anoskopi. Pada pemeriksaan rektal secara digital mungkin tidak ditemukan apa-apa bila masih dalam stadium awal. Pemeriksaan anoskopi dilakukan untuk melihat hemoroid interna yang tidak mengalami penonjolan. Pada pemeriksaan kita tidak boleh mengabaikan pemeriksaan umum karena keadaan ini dapat disebabkan oleh penyakit lain seperti sindrom hipertensi portal (Mansjoer, 2008).
           6.                  Pemeriksaan Diagnostik
            Diagnosis hemoroid dapat dilakukan dengan melakukan :
a.    Anamnesis
Pada anamnesis biasanya didapati bahwa pasien menemukan adanya darah segar pada saat buang air besar. Selain itu pasien juga akan mengeluhkan adanya gatal-gatal pada daerah anus. Pada derajat II hemoroid internal pasien akan merasakan adanya masa pada anus dan hal ini membuatnya tak nyaman. Pasien akan mengeluhkan nyeri pada hemoroid derajat IV yang telah mengalami trombosis (Canan, 2002).
Perdarahan yang disertai dengan nyeri dapat mengindikasikan adanya trombosis hemoroid eksternal, dengan ulserasi thrombus pada kulit. Hemoroid internal biasanya timbul gejala hanya ketika mengalami prolapsus sehingga terjadi ulserasi, perdarahan, atau trombosis. Hemoroid eksternal bisa jadi tanpa gejala atau dapat ditandai dengan rasa tak nyaman, nyeri akut, atau perdarahan akibat ulserasi dan trombosis ( Wexner, Person, dan Kaidar-person, 2006).
b.    Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembengkakan vena yang mengindikasikan hemoroid eksternal atau hemoroid internal yang mengalami prolaps. Hemoroid internal derajat I dan II biasanya tidak dapat terlihat dari luar dan cukup sulit membedakannya dengan lipatan mukosa melalui pemeriksaan rektal kecuali hemoroid tersebut telah mengalami trombosis (Canan, 2002).
Daerah perianal juga diinspeksi untuk melihat ada atau tidaknya fisura, fistula, polip, atau tumor. Selain itu ukuran, perdarahan, dan tingkat keparahan inflamasi juga harus dinilai (Nisar dan Scholefield, 2003).
c.    Pemeriksaan Penunjang
Anal canal dan rektum diperiksa dengan menggunakan anoskopi dan sigmoidoskopi. Anoskopi dilakukan untuk menilai mukosa rektal dan mengevaluasi tingkat pembesaran hemoroid (Halverson, 2007). Side-viewing pada anoskopi merupakan instrumen yang optimal dan tepat untuk mengevaluasi hemoroid. Allonso-Coello dan Castillejo (2003) dalam Kaidar-Person, Person, dan Wexner (2007) menyatakan bahwa ketika dibandingkan dengan sigmodoskopi fleksibel, anoskopi mendeteksi dengan presentasi lebih tinggi terhadap lesi di daerah anorektal.
Gejala hemoroid biasanya bersamaan dengan inflamasi pada anal canal dengan derajat berbeda. Dengan menggunakan sigmoidoskopi, anus dan rektum dapat dievaluasi untuk kondisi lain sebagai diagnosa banding untuk perdarahan rektal dan rasa tak nyaman seperti pada fisura anal dan fistula, kolitis, polip rektal, dan kanker. Pemeriksaan dengan menggunakan barium enema X-ray atau kolonoskopi harus dilakukan pada pasien dengan umur di atas 50 tahun dan pada pasien dengan perdarahan menetap setelah dilakukan pengobatan terhadap hemoroid (Canan, 2002).
 
                                                         







Anoskopi                                                                     Sigmoidoskopi
                                                                                                                                        
7.                  Komplikasi
Komplikasi hemoroid yang paling sering adalah perdarahan, thrombosis, dan strangulasi. Hemoroid strangulasi adalah hemoroid yang prolaps dengan suplai darah dihalangi oleh sfingter ani (Price, 2005).
Komplikasi hemoroid antara lain :
a.    Luka dengan tanda rasa sakit yang hebat sehingga pasien takut mengejan dan takut berak. Karena itu, tinja makin keras dan makin memperberat luka di anus.
b.    Infeksi pada daerah luka sampai terjadi nanah dan fistula (saluran tak normal) dari selaput lendir usus/anus.
c.    Perdarahan akibat luka, bahkan sampai terjadi anemia.
d.   Jepitan, benjolan keluar dari anus dan terjepit oleh otot lingkar dubur sehingga tidak bisa masuk lagi. Sehingga, tonjolan menjadi merah, makin sakit, dan besar. Dan jika tidak cepat-cepat ditangani dapat busu (Dermawan, 2010).
           8.                  Penatalaksanaan Medis
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), Sudoyo (2006) dan Mansjoer (2008), penatalaksanaan medis hemoroid terdiri dari penatalaksanaan non farmakologis, farmakologis, dan tindakan minimal invasive. Penatalaksanaan medis hemoroid ditujukan untuk hemoroid interna derajat I sampai dengan III atau semua derajat hemoroid yang ada kontraindikasi operasi atau pasien menolak operasi. Sedangkan penatalaksanaan bedah ditujukan untuk hemoroid interna derajat IV dan eksterna, atau semua derajat hemoroid yang tidak respon terhadap pengobatan medis.
a.     Penatalaksanaan Medis Non Farmakologis
Penatalaksanaan ini berupa perbaikan pola hidup, perbaikan pola makan dan minum, perbaiki pola/ cara defekasi. Memperbaiki defekasi merupakan pengobatan yang selalu harus ada dalam setiap bentuk dan derajat hemoroid. Perbaikan defekasi disebut bowel management program (BMP) yang terdiri dari diet, cairan, serat tambahan, pelicin feses, dan perubahan perilaku buang air. Pada posisi jongkok ternyata sudut anorektal pada orang menjadi lurus ke bawah sehingga hanya diperlukan usaha yang lebih ringan untuk mendorong tinja ke bawah atau keluar rektum. Posisi jongkok ini tidak diperlukan mengedan lebih banyak karena mengedan dan konstipasi akan meningkatkan tekanan vena hemoroid (Sudoyo, 2006).
Gejala hemoroid dan ketidaknyamanan dapat dihilangkan dengan hygiene personal yang baik dan menghindari mengejan berlebihan selama defekasi. Diet tinggi serat yang mengandung buah dan sekam mungkin satu-satunya tindakan yang diperlukan (Smeltzer dan Bare, 2002).
b.     Penatalaksanaan Medis Farmakologis
Obat-obat farmakologis hemoroid dapat dibagi atas empat, yaitu pertama : memperbaiki defekasi, kedua : meredakan keluhan subyektif, ketiga : menghentikan perdarahan, dan keempat : menekan atau mencegah timbulnya keluhan dan gejala.
1)        Obat memperbaiki defekasi : ada dua obat yang diikutkan dalam BMP yaitu suplemen serat (fiber suplement) dan pelicin tinja (stool softener). Suplemen serat komersial yang banyak dipakai antara lain psyllium atau isphagula Husk (misal Vegeta, Mulax, Metamucil, Mucofalk). Obat kedua yaitu obat laksan atau pencahar antara lain Natrium dioktil sulfosuksinat (Laxadine), Dulcolax, Microlac dll. Natrium dioctyl sulfosuccinat bekerja sebagai anionic surfactant, merangsang sekresi mukosa usus halus dan meningkatkan penetrasi cairan kedalam tinja. Dosis 300 mg/hari (Sudoyo, 2006).       
2)        Obat simtomatik : bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi keluhan rasa gatal, nyeri, atau karena kerusakan kulit di daerah anus. Obat pengurang keluhan seringkali dicampur pelumas (lubricant), vasokonstriktor, dan antiseptic lemah. Sediaan penenang keluhan yang ada di pasar dalam bentuk ointment atau suppositoria antara lain Anusol, Boraginol N/S, dan Faktu. Bila perlu dapat digunakan kortikosteroid untuk mengurangi radang daerah hemoroid atau anus antara lain Ultraproct, Anusol HC, Scheriproct. Sediaan bentuk suppositoria digunakan untuk hemoroid interna, sedangkan sediaan ointment/krem digunakan untuk hemoroid eksterna (Sudoyo, 2006).
3)        Obat menghentikan perdarahan : perdarahan menandakan adanya luka pada dinding anus/ pecahnya vena hemoroid yang dindingnya tipis. Yang digunakan untuk pengobatan hemoroid yaitu campuran diosmin (90%) dan hesperidin (10%) dalam bentuk Micronized, dengan nama dagang “Ardium” atau “Datlon”. Psyllium, Citrus bioflavanoida yang berasal dari jeruk lemon dan paprika berfungsi memperbaiki permeabilitas dinding pembuluh darah (Sudoyo, 2006).
4)        Obat penyembuh dan pencegah serangan hemoroid : pengobatan dengan Ardium 500 mg menghasilkan penyembuhan keluhan dan gejala yang lebih cepat pada hemoroid akut bila dibandingkan plasebo. Pemberian Micronized flavonoid (Diosmin dan Hesperidin) (Ardium) 2 tablet per hari selama 8 minggu pada pasien hemoroid kronik. Penelitian ini didapatkan hasil penurunan derajat hemoroid pada akhir pengobatan dibanding sebelum pengobatan secara bermakna. Perdarahan juga makin berkurang pada akhir pengobatan dibanding awal pengobatan (Sudoyo, 2006).
c.     Penatalaksanaan Minimal Invasive
Penatalaksanaan hemoroid ini dilakukan bila pengobatan non farmakologis, farmakologis tidak berhasil. Penatalaksanaan ini antara lain tindakan skleroterapi hemoroid, ligasi hemoroid, pengobatan hemoroid dengan terapi laser (Sudoyo, 2006).
Tindakan bedah konservatif hemoroid internal adalah prosedur ligasi pita-karet. Hemoroid dilihat melalui anosop, dan bagian proksimal diatas garis mukokutan dipegang dengan alat. Pita karet kecil kemudian diselipkan diatas hemoroid. Bagian distal jaringan pada pita karet menjadi nekrotik setelah beberapa hari dan lepas. Terjadi fibrosis yang mengakibatkan mukosa anal bawah turun dan melekat pada otot dasar. Meskipun tindakan ini memuaskan bagi beberapa pasien, namun pasien lain merasakan tindakan ini menyebabkan nyeri dan mengakibatkan hemoroid sekunder dan infeksi perianal. Hemoroidektomi kriosirurgi adalah metode untuk mengangkat hemoroid dengan cara membekukan jaringan hemoroid selama waktu tertentu selama timbul nekrosis. Meskipun hal ini relative kurang menimbulkan nyeri, prosedur ini tidak digunakan dengan luas karena menyebabkan keluarnya rabas yang berbau sangat menyengat dan luka yang ditimbulkan lama sembuhnya. Laser Nd:YAG telah digunakan saat ini dalam mengeksisi hemoroid, terutama hemoroid eksternal. Tindakan ini cepat dan kurang menimbulkan nyeri. Hemoragi dan abses jarang menjadi komplikasipada periode pasca operatif (Smeltzer dan Bare, 2002).
d.    Penatalaksanaan Bedah
Hemoroidektomi atau eksisi bedah dapat dilakukan untuk mengangkat semua jaringan sisa yang terlibat dalam proses ini. Selama pembedahan, sfingter rektal biasanya didilatasi secara digital dan hemoroid diangkat dengan klem dan kauter atau dengan ligasi dan kemudian dieksisi. Setelah prosedur operatif selesai, selang kecil dimasukkan melalui sfingter untuk memungkinkan keluarnya flatus dan darah. Penempatan Gelfoan atau kassa oxygel dapat diberikan diatas luka anal (Smeltzer dan Bare, 2002).
Teknik operasi Whitehead dilakukan dengan mengupas seluruh hemoroidales interna, membebaskan mukosa dari submukosa, dan melakukan reseksi. Lalu usahakan kontinuitas mukosa kembali. Sedang pada teknik operasi Langenbeck, vena-vena hemoroidales interna dijepit radier dengan klem. Lakukan jahitan jelujur dibawah klem dengan chromic gut no. 2/0, eksisi jaringan diatas klem. Sesudah itu, klem dilepas dan jepitan jelujur dibawah klem diikat (Mansjoer, 2008).
Acheson dan Scholfield (2008) menyatakan apabila hemoroid internal derajat I yang tidak membaik dengan penatalaksanaan konservatif maka dapat dilakukan tindakan pembedahan. HIST (Hemorrhoid Institute of South Texas) menetapkan indikasi tatalaksana pembedahan hemoroid antara lain:
1)         Hemoroid internal derajat II berulang.
2)         Hemoroid derajat III dan IV dengan gejala.
3)         Mukosa rektum menonjol keluar anus.
4)         Hemoroid derajat I dan II dengan penyakit penyerta seperti fisura.
5)         Kegagalan penatalaksanaan konservatif.
6)         Permintaan pasien.
Pembedahan yang sering dilakukan yaitu:
1)         Skleroterapi
Teknik ini dilakukan menginjeksikan 5 mL oil phenol 5 %, vegetable oil, quinine, dan urea hydrochlorate atau hypertonic salt solution. Lokasi injeksi adalah submukosa hemoroid. Efek injeksi sklerosan tersebut adalah edema, reaksi inflamasi dengan proliferasi fibroblast, dan trombosis intravaskular. Reaksi ini akan menyebabkan fibrosis pada sumukosa hemoroid. Hal ini akan mencegah atau mengurangi prolapsus jaringan hemoroid (Kaidar-Person dkk, 2007). Senapati (1988) dalam Acheson dan Scholfield (2009) menyatakan teknik ini murah dan mudah dilakukan, tetapi jarang dilaksanakan karena tingkat kegagalan yang tinggi.
2)         Rubber Band Ligation
Ligasi jaringan hemoroid dengan rubber band menyebabkan nekrosis iskemia, ulserasi dan scarring yang akan menghsilkan fiksasi jaringan ikat ke dinding rektum. Komplikasi prosedur ini adalah nyeri dan perdarahan.
3)         Infrared Thermocoagulation
Sinar infra merah masuk ke jaringan dan berubah menjadi panas. Manipulasi instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengatur banyaknya jumlah kerusakan jaringan. Prosedur ini menyebabkan koagulasi, oklusi, dan sklerosis jaringan hemoroid. Teknik ini singkat dan dengan komplikasi yang minimal.
4)         Bipolar Diathermy
Menggunakan energi listrik untuk mengkoagulasi jaringan hemoroid dan pembuluh darah yang memperdarahinya. Biasanya digunakan pada hemoroid internal derajat rendah.
5)         Laser Haemorrhoidectomy.
6)         Doppler Ultrasound Guided Haemorrhoid Artery Ligation
Teknik ini dilakukan dengan menggunakan proktoskop yang dilengkapi dengan doppler probe yang dapat melokalisasi arteri. Kemudian arteri yang memperdarahi jaringan hemoroid tersebut diligasi menggunakan absorbable suture. Pemotongan aliran darah ini diperkirakan akan mengurangi ukuran hemoroid.
7)         Cryotherapy
Teknik ini dilakukan dengan menggunakan temperatur yang sangat rendah untuk merusak jaringan. Kerusakan ini disebabkan kristal yang terbentuk di dalam sel, menghancurkan membran sel dan jaringan. Namun prosedur ini menghabiskan banyak waktu dan hasil yang cukup mengecewakan. Cryotherapy adalah teknik yang paling jarang dilakukan untuk hemoroid (American Gastroenterological Association, 2004).
8)         Stappled Hemorrhoidopexy
Teknik dilakukan dengan mengeksisi jaringan hemoroid pada bagian proksimal dentate line. Keuntungan pada stappled hemorrhoidopexy adalah berkurangnya rasa nyeri paska operasi selain itu teknik ini juga aman dan efektif sebagai standar hemorrhoidectomy (Halverson, 2007).



KONSEP ASKEP

            1.                  Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien hemoroid pre dan post operasi hemoroidektomi menurut Carpenito-Moyet (2007), Smeltzer & Bare (2002), NANDA (2007) :
a.       Cemas berhubungan dengan krisis situasi akibat rencana pembedahan.
b.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan interupsi mekanis pada kulit atau jaringan anal.
c.       Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma jaringan sekunder pada luka di anus yang masih baru.
d.      Nyeri akut berhubungan dengan iritasi, tekanan dan sensitivitas pada area rektal/ anal sekunder akibat penyakit anorektal, trauma jaringan dan reflek spasme otot spingter ani sekunder akibat operasi.
e.       Resiko infeksi berhubungan dengan pembedahan, adanya saluran invasive.
f.       Resiko konstipasi berhubungan dengan nyeri saat defeksi.
            2.                  Intervensi (Rencana Tindakan)
Fokus intervensi pada pasien pre dan post operasi hemoroid menurut Doenges (2000), Carpenito-Moyet (2007), dan NANDA (2007) :
      a.       Cemas berhubungan dengan krisis situasi sekunder akibat rencana pembedahan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan cemas berkurang.
Kriteria hasil : Menunjukkan perasaan dan mengidentifikasi cara yang sehat dalam berhadapan dengan mereka. Tampil santai, dapat beristirahat/ tidur cukup melaporkan penurunan rasa takut dan cemas yang berkurang ke tingkat yang dapat diatasi.
Rencana tindakan :
1)        Identifikasi tingkat rasa takut yang mengharuskan dilakukannya penundaan prosedur pembedahan
Rasional : rasa takut yang berlebihan atau terus-menerus akan mengakibatkan reaksi stress yang berlebihan.
2)        Validasi sumber rasa takut. Sediakan informasi yang akurat dan faktual.
Rasional : mengidentifikasi rasa takut yang spesifik akan membantu pasien untuk menghadapinya secara realistis.
3)       Catat ekspresi yang berbahaya/ perasaan tidak tertolong, pre okupasi dengan antisipasi perubahan/ kehilangan, perasaan tercekik.
Rasional : pasien mungkin telah berduka terhadap kehilangan yang ditunjukkan dengan antisipasi prosedur pembedahan/ diagnosa/prognosa penyakit.
4)        Cegah pemajanan tubuh yang tidak diperlukan selama pemindahan ataupun pada ruang operasi.
            Rasional : pasien akan memperhatikan masalah kehilangan harga diri dan ketidakmampuan untuk 
            melatih kontrol.
5)        Berikan petunjuk/ penjelasan yang sederhana pada pasien yang tenang. Tinjau lingkungan sesuai kebutuhan.
Rasional : ketidakseimbangan dari proses pemikiran akan membuat pasien menemui kesulitan untuk memahami petunjuk-petunjuk yang panjang dan berbelit-belit.
6)        Instruksikan pasien untuk menggunakan tekhnik relaksasi.
            Rasional : mengurangi perasaan tegang dan rasa cemas.
7)        Berikan obat sesuai indikasi
            Rasional : dapat digunakan untuk menurunkan ansietas.
      b.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan interupsi mekanis pada kulit/ jaringan anal.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan integritas kulit membaik.
Kriteria hasil :
1)        Mencapai penyembuhan luka.
2)     Mendemonstrasikan tingkah laku/ teknik untuk meningkatkan kesembuhan dan mencegah komplikasi.
 Rencana tindakan :
1)        Beri penguatan pada balutan sesuai indikasi dengan teknik aseptik yang ketat.
Rasional : lindungi luka dari kontaminasi, mencegah akumulasi cairan yang dapat menyebabkan eksoriasi.
2)        Periksa luka secara teratur, catat karakteristik dan integritas kulit.
Rasional : pengenalan akan adanya kegagalan proses penyembuhan luka/ berkembangnya komplikasi secara dini dapat mencegah terjadinya kondisi yang lebih serius.
3)        Kaji jumlah dan karakteristik cairan luka
       Rasional : menurunnya cairan, menandakan adanya evolusi dan proses penyembuhan.
4)        Ingatkan pasien untuk tidak menyentuh daerah luka.
            Rasional : mencegah kontaminasi luka.
5)        Irigasi luka dengan debridement sesuai kebutuhan.
           Rasional : membuang luka eksudat untuk meningkatkan penyembuhan.
      c.       Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma jaringan sekunder pada luka di anus yang masih baru.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak mengalami perdarahan.
Kriteria hasil : Nilai Ht dan Hb berada dalam batas normal, pasien tidak mengalami perdarahan, tanda-tanda vital berada dalam batas normal : tekanan darah 120 mmHg, nadi : 80-100x/ menit, pernapasan : 14 – 25 x/ mnt, suhu: 36 - 370C ± 0,50C
Rencana tindakan :
1)        Kaji pasien untuk menemukan bukti-bukti perdarahan atau hemoragi.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat keparahan perdarahan pada pasien sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya.
2)        Monitor tanda vital
            Rasional : Untuk mengetahui keadaan vital pasien saat terjadi perdarahan.
3)        Pantau hasil lab berhubungan dengan perdarahan.
Rasional : Banyak komponen darah yang menurun pada hasil lab dapat membantu menentukan intervensi selanjutnya.
4)        Siapkan pasien secara fisik dan psikologis untuk menjalani bentuk terapi lain jika diperlukan.
Rasional : Keadaan fisik dan psikologis yang baik akan mendukung terapi yang diberikan pada pasien sehingga mampu memberikan hasil yang maksimal.
5)        Awasi jika terjadi anemia
            Rasional : Untuk menentukan intervensi selanjutnya.
6)        Kolaborasi dengan dokter mengenai masalah yang terjadi dengan perdarahan : pemberian transfusi, medikasi.
Rasional : mencegah terjadinya komplikasi dari perdarahan yang terjadi dan untuk menghentikan perdarahan.
     d.      Nyeri akut berhubungan dengan iritasi, tekanan dan sensitivitas pada area rektal/ anal sekunder akibat penyakit anorektal, trauma jaringan dan refleks spasme otot sfingter ani sekunder akibat operasi.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri berkurang.
Kriteria hasil :
1)      Menyatakan bahwa rasa sakit telah terkontrol/ dihilangkan.
2)      Feses lembek, tidak nyeri saat BAB.
3)      Tampak rileks, dapat istirahat tidur.
4)      Ikut serta dalam aktivitas sesuai kebutuhan.
Rencana tindakan :
1)      Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
Rasional : Mengetahui perkembangan hasil prosedur.
2)      Bantu pasien untuk tidur dengan posisi yang nyaman : tidur miring.
Rasional : posisi tidur miring tidak menekan bagian anal yang mengalami peregangan otot untuk meningkatkan rasa nyaman.
3)      Gunakan ganjalan pengapung dibawah bokong saat duduk.
            Rasional : untuk meningkatkan mobilisasi tanpa menambah rasa nyeri.
4)      Gunakan pemanasan basah setelah 12 jam pertama : kompres rectal hangat atau sit bath dilakukan 3-4x/ hari.
Rasional : meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan odema dan meningkatkan penyembuhan (pendekatan perineal).
5)      Dorong penggunaan teknik relaksasi : latihan nafas dalam, visualisasi, pedoman, imajinasi.
Rasional : menurunkan ketegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan meningkatkan kemampuan koping.
6)      Beri obat-obatan analgetik seperti diresepkan 24 jam pertama.
            Rasional : memberi kenyamanan, mengurangi rasa sakit.
      e.       Resiko infeksi berhubungan dengan pembedahan, adanya saluran invasive.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak mengalami infeksi.
Kriteria hasil :
1)       Memperlihatkan pengetahuan tentang faktor resiko yang berkaitan dengan infeksi dan melakukan tindakan pencegahan yang tepat untuk mencegah infeksi.
2)       Bebas dari proses infeksi nosokomial selama perawatan di rumah sakit.
Rencana tindakan :
1)        Kaji status nutrisi, kondisi penyakit yang mendasari.
Rasional : mengidentifikasi individu terhadap infeksi nosokomial
2)        Cuci tangan dengan cermat
Rasional : kurangi organisme yang masuk ke dalam individu
3)        Rawat luka dengan teknik aseptik/ antiseptik
Rasional : kurangi organisme yang masuk ke dalam individu
4)        Batasi pengunjung
Rasional : melindungi individu yang mengalami defisit imun dan infeksi.
5)        Batasi alat-alat invasive untuk benar-benar perlu saja
Rasional : melindungi individu yang mengalami defisit imun dan infeksi.
6)        Dorong dan pertahankan masukan TKTP
Rasional : kurangi kerentanan individu terhadap infeksi
7)        Beri therapy antibiotik rasional sesuai program dokter
Rasional : mencegah segera terhadap infeksi
8)        Observasi terhadap manifestasi klinis infeksi (demam, drainase, purulen)
Rasional : deteksi dini proses infeksi.
       f.       Resiko konstipasi berhubungan dengan nyeri saat defekasi.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien bisa BAB 1x
sehari dengan konsistensi lembek.
Kriteria hasil, individu akan :
1)       Menggambarkan program defekasi terapeutik
2)       Melaporkan atau menunjukkan eliminasi yang membaik (lunak, namun tidak berdarah defekasi lebih 3x dalam seminggu)
3)       Menjelaskan rasional intervensi
Rencana tindakan :
1)         Ajarkan pasien/ keluarga tentang pentingnya segera berespon terhadap perasaan defekasi.
Rasional : dengan distensi kronik feses akan lebih keras dalam rectum.
2)         Rekomendasikan perubahan diit untuk meningkatkan bulk (tinggi serat 1x sehari) dan cairan ± 8-10 gelas/ hari.
Rasional : meningkatkan penyerapan cairan dalam usus sehingga feses lembek.
3)         Anjurkan mencoba supositoria daripada oral dalam 1 jam setelah sarapan.
Rasional : meningkatkan reflek gastro kolik bila lambung kosong
4)         Tingkatkan tingkat aktivitas secara adekuat
Rasional : latihan yang tidak adekuat merupakan faktor utama dalam perubahan konsistensi feses.
5)         Hindari sarapan yang mengandung asam lemak
Rasional : memperlambat rangsangan reflek dan memperlambat pencernaan.
6)         Tingkatkan penggunaan obat konstipasi 2x sehari bila diperlukan.
Rasional : Melancarkan Buang Air Besar.


DAFTAR PUSTAKA